Sabtu, 22 Mei 2010

seni teater jakarta

Musik tradisional maupun modern di Jakarta menggambarkan perpaduan antarbudaya dan etnis. Pengaruh dari luar Indonesia berasal dari Belanda, Tiongkok, Portugal, Arab dan India.
Untuk musik tradisional di Jakarta, seperti tanjidor dan gambang kromong, terdapat pengaruh baik etnis Sunda seperti penggunaan rebab dan terompet tradisional. Ada pula pengaruh asing seperti halnya Trombone dan Gitar dari Eropa dan beberapa irama musik tradisional Tionghoa. Pengaruh dari Portugal juga menghasilkan musik yang disebut Keroncong
Gambang Kromong
Salah satu jenis musik yang cukup populer di tengah maraknya blantika musik Indonesia adalah gambang kromong. Jenis musik ini hampir tidak pernah absen dalam berbagai kesempatan. Ada grup musik gambang kromong pernah tampil di mancanegara dan banyak grup musik gambang kromong yang secara berkala pernah mengisi acara di radio, layar kaca, dan hotel berbintang. Selain itu gambang kromong selalu tampil dalam acara-acara budaya yang bernuansa Betawi dan festival-festival lainnya. Menurut informasi di wilayah sekitar Jakarta, ada sekitar seratus grup gambang kromong. Jenis musik Betawi ini terdapat perbauran yang harmonis antara unsur pribumi dengan unsur Cina. Perbauran itu tampak pada alat musiknya.
Keroncong Tugu
Keroncong Tugu sesuai dengan sebutannya merupakan orkes keroncong khas Kampung Tugu, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Menurut sejarahnya, penduduk kampung itu menganggap dirinya adalah keturunan orang Portugis. Nama-nama mereka, sampai sekarang bayak yang masih menggunakan nama Portugis. Ada tiga hal yang bertahan dalam tradisi keroncong tugu, yaitu alat musik, lagu-lagu (repertoar), dan kostum pemainnya. Alat musiknya tetap seperti tiga abad yang lalu, yakni keroncong, biola, okulele, banyo, gitar, rebana, kempul dan sello. Lagu-lag yang tidak pernah ditinggalkan adalah lagu-lagu lama, Kaparinyo, Moresco, dan lagu-lagu stambul Betawi.
Rebana
Rebana adalah alat musik berkulit yang bernafaskan Islam yang dipergunakan sebagai sarana upacara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, pernikahan, khitanan, kenduri dan sebagainya. Di samping orkes gambus, musik betawi yang menunjukkan adanya pengaruh Timur Tengah dan bernapaskan agama Islam adalah berbagai jenis orkes rebana. Berdasarkan alatnya, sumber syair yang dibawakannya dan latar belakang sosial pendukungnya, rebana betawi terdiri dari bermacam-macam jenis dan nama, seperti rebana ngarak, rebana dor, dan rebana biang. Sebutan rebana ketrimping, mungkin, karena adanya tiga pasang 'kerincingan', yakni semacam krecek. Rebana ngarak dipergunakan untuk mengarak pengantin pria menuju rumah pengantin wanita.
Tari
Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan Tiongkok, seperti tari Jaipong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing. Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.
SERATUS tahun silam, negara kesatuan Republik Indonesia belum terbentuk. Yang ada kelompok- kelompok etnis seperti Jawa, Bali, Minang, dan Melayu yang hidup terpisah-pisah di bawah kekuasaan penjajah Belanda. Sebelum penjajah hadir, penguasa pribumi-raja-raja, terutama Jawa dan Bali- melegitimasikan kekuasaan dan pengaruhnya dengan patronase dan penyelenggara berbagai pertunjukan sebagai bagian dari upacara negara, agama, atau kegiatan rekreasi dan hiburan semata.

Melalui upacara spektakuler seperti garebeg, sekaten, eka dasa rudra, dan galungan para raja menunjukkan kebesarannya. Melalui wacana konsep dewa-raja, ratu gung binathara, gelar kebesaran sayidin panata gama kalifatullah tanah Jawa, rakyat diyakinkan akan kekuasaan dan kebesaran penguasa. Masyarakat Jawa masa lalu terbagi dua kelompok para priyagung dan rakyat biasa (kawula alit). Posisi tak menguntungkan rakyat kecil ini secara tradisi harus diterima dengan patuh tanpa bertanya.
Masuknya penjajah Belanda memperburuk situasi hidup. Raja-raja, penguasa lokal yang didewakan rakyat, tak lagi berkuasa penuh tetapi harus tunduk dan melayani kepentingan penjajah Belanda. Awalnya, para penguasa pribumi secara sporadis melawan Belanda. Mereka berjuang sendiri-sendiri dengan kekuatan ekonomi, militer, teknologi, dan strategi yang tak memadai, karenanya banyak yang tergilas.
Tiga ratus tahun berjuang tanpa hasil, raja-raja Jawa dan Bali kemudian banyak yang pasrah dan memusatkan perhatiannya pada kegiatan gamelan, tari dan wayang, atau mistik. Wacana budaya pada saat ini adalah bertahan hidup. Kebesaran raja-raja Jawa sebenarnya tinggal nama, karena secara politik dan ekonomi mereka sangat bergantung kepada Pemerintah Hindia Belanda. Ada kalanya para raja justru membantu penjajah Belanda mengeksploitasi rakyatnya.
Patronase pertunjukan tari, wayang dan gamelan tetap, walau jumlahnya berkurang. Upacara-upacara besar yang diselenggarakan raja berubah fungsi dari sebuah ritual yang mengandung martabat menjadi hiburan atau klangenan yang lebih mementingkan gebyar wujud daripada esensi isi. Upacara garebeg misalnya, tak lagi diselenggarakan semata-mata untuk keselamatan dan kemakmuran Raja Jawa dan rakyatnya, tetapi juga (dan terutama) untuk Kanjeng Ratu Wilhelmina.
Memasuki abad ke-20, seiring dengan pergerakan nasional, terjadi demokratisasi dan komersialisasi. Seni pertunjukan yang semula dihayati sebagai ekpresi budaya perlahan-lahan berubah menjadi produk atau komoditas. Tontonan keraton yang semula merupakan klangenan kaum ningrat, diproduksi secara populer untuk rakyat biasa. Di Surakarta, Sunan Paku Buwono X membuka Taman Hiburan Sri Wedari dengan pertunjukan wayang orang yang main setiap malam. Masyarakat Surakarta dan sekitarnya (yang masih kuat berorientasi ke budaya istana), menyambut dengan gembira. Melalui pertunjukan wayang orang, mereka bisa mengidentifikasikan dirinya dengan kaum priyayi dan bisa mengagumi kebesaran masa silam. Raja dan rakyat memiliki perasaan yang sama dalam menghadapi penjajah Belanda.
SENI RUPA
Arsitektur
Masyarakat Betawi tidak memiliki gaya bangunan yang khas. Cara membuat bangunan pun sama dengan daerah lain. Namun ada yang khas Betawi seperti dalam teknik penyambungan, yaitu “tiang guru” dengan “penglari” selalu diperkuat dengan “pen” (semacam pasak yang terbuat dari bambu) sebagai pengganti paku. Bila rumah itu akan dibongkar pasak-pasak itu tinggal dicopot saja untuk kemudian dipasang kembali di tempat yang baru.
Rumah tradisional Betawi secara geografis biasanya berada di lingkungan dekat air. Pada bagian pesisir atau pantai masih terdapat beberapa rumah yang mewakili bentuk arsitektur tradisional, seperti rumah si Pitung di Marunda Pulo, Jakarta Utara. Di bagian pedalaman, rumah-rumah tradisional Betawi yang masih mewakili terdapat di kawasan Condet, Bale Kambang dan Batuampar, Jakarta Timur. Tata letak rumah orang Betawi tidak berorientasi terhadap arah mata angin, mereka lebih mengutamakan alasan-alasan praktis, seperti bentuk dan orientasi pekarangan dan fungsi-fungsinya.
Rumah Si Pitung yang berkolong mengingatkan kita pada rumah-rumah tradisional di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Sementara di pinggiran Jakarta, seperti di Kalisari Pasar Rebo, Jakarta Timur, terdapat rumah berkolong rendah. Tinggi kolongnya seperti rumah-rumah kebanyakan di Laki-lakingan. Rumah-rumah yang merupakan peralihan dari yang berkolong ke tanpa kolong terdapat di Pondong Rangon, Keranggan, dan Tipar. Tingginya antara 20—30 cm
Rumah penduduk Betawi yang cukup mampu biasanya terdiri dari bangunan inti, “paseban”, dan dapur. Bangunan inti untuk tempat tidur tuan rumah dan anak gadis. Kamra-kamarnya berseberangan. Paseban terletak di depan bangunan inti berupa bangunan tanpa dinding sebagai sambungan dari langkan. Atapnya disambungkan dengan langkan. Fungsinya banyak, antara lain sebagai tempat menerima tamu, tempat duduk-duduk keluarga, tempat tidur anak laki-laki, juga untuk menyimpan padi sebelum dimasukukan ke dalam lumbung. Sementara dapur di belakang dan atapnya menempel dengan bagian belakang bangunan ini yang disambungkan dengan talang seng. Fungsinya untuk memasak dan kegiatan domestik lainnya. Dengan demikian, rumah seperti ini memiliki tiga wuwungan.
Pada umumnya bangunan inti rumah tradisional Betawi tanpa kolong memiliki serambi depan yang terbuka yang disebut “langkan”. Bila tidak berkolong, di serambi itu biasa diletakkan balai-balai. Meskipun depannya terbuka sama sekali, di kiri-kanannya biasanya terdapat jendela tanpa daun. Seringkali pula bentuk atas jendela itu berbentuk lengkung seperti bentuk kubah masjid. Rumah tanpa kolong ini biasanya berlantai dari tanah, tembok, ubin dari batu pipih atau semen.
Sementara di bagian kiri dan kanan bangunan inti ada jendela berjeruji yang menghadap ke paseban. Fungsinya untuk memasukkan cahaya ke ruang dalam. Ia juga berfungsi sebagai tempat pertemuan gadis Betawi dengan kekasihnya dan kunjungan sang pacar biasa disebut “ngelancong.” Jendela itu sering pula disebut “jendela intip” karena di masa lalu para anak gadis Betawi yang belum terlibat hubungan percintaan yang intim hanya bisa mengintip dari balik jendela itu.
Tidak ada pembagian ruangan yang mutlak dalam rumah Betawi. Apalagi membaginya berdasarkan jenis kelamin penghuninya, meski kadang anak-anak gadis Betawi ditempatkan di kamar depan. Peruntukan ruang lebih karena pertimbangan praktis saja. Akan tetapi pembagian ruang yang cenderung simetris berlaku hampir mutlak. Pasalnya, ruang depan dan ruang belakang di mulai dari pinggir kiri ke pinggir kanan tanpa pembagian ruang lagi.
Berdasarkan bentuk dan struktur atapnya, rumah tradisional Betawi dibagi ke dalam tiga jenis: potongan gudang, potongan joglo (limasan), dan potongan bapang atau kebaya. Masing-masing potongan atau bentuk ini berkaitan erat dengan pembagia denahnya.
Potongan Gudang
Potongan gudang berbentuk empat persegi panjang dengan denah segi empat yang memanjang dari depan ke belakang. Atapnya berbentuk pelana, tetapi ada pula yang berbentuk perisai. Susunan atapnya, baik yang berbentuk pelana maupun perisai, tersusun dari kerangka kuda-kuda. Bila berbentuk perisai ditambah dengan sebuah eleman struktur atau yang dalam istilah setempat disebut jure. Struktur kuda-kuda dalam potongan gudang biasanya bersistem agak kompleks, karena sudah mulai memakai batang tekan miring sebanyak dua buah yang saling bertemu pada sebuah batang tarik tegak yang biasa disebut ander.
Pada bagian depan biasanya terdapat sepenggal atap, yang biasa disebut empyak, atau markis, atau topi, berfungsi sebagai penahan tempias hujan atau cahaya matahari, pada ruang depan yang biasanya terbuka. Empyak biasa ditopang oleh tiang penyangga atau tangan-tangan yang disebut sekor-sekor. Biasanya dari kayu, ada pula yang terbuat dari besi. Sistem ini tidak dikenal pada rumah-rumah tradisional lainnya di Indonesia. Karena itu tampaknya bisa dipastikan bahwa sistem ini merupakan pengaruh dari bangunan-bangunan yang dibuat oleh Belanda di Jakarta.
Potongan Joglo
Pada umumnya potongan ini berbentuk bujur sangkar. Dari seluruh bentuk bujur sangkar itu, bagian yang sebenarnya merupakan potongan joglo adalah bagian dari empat persegi panjang yang garis panjangnya terdapat pada kanan-kiri ruang depan. Atap bagian depan merupakan terusan dari atap joglo yang ada. Dengan demikian, bagia utama bangunan beratap potongan joglo dengan bagian depan yang atapnya merupakan sambungan dari bagian utama itulah yang menimbulkan denan berbentuk bujur sangkar.
Dari bentuknya dapat dipastikan bahwa potongan joglo merupakan bentuk adaptasi dari rumah tradisional Jawa. Perbedaannya adalah pada potongan joglo rumah tradisional Jawa, tiang-tiang utama penopang struktur atapnya merupakan unsur yang mengarahkan pembagian ruang pada denah. Sedang pada potongan joglo Betawi hal itu tidak nyata. Di samping itu struktur atap joglo tradisi Jawa disusun oleh sistem temu gelang atau payun, joglo Betawi disusun oleh kuda-kuda. Berbeda dengan potongan gudang, rumah potongan joglo Betawi pada umumnya tidak dilengkapi dengan batang-batang diagonal seperti ditemukan pada sistem kuda-kuda Barat yang diperkenalkan oleh orang Belanda.
Potongan Bapang (Kebaya)
Pada dasarnya atap rumah potongan bapang atau kebaya adalah berbentuk pelana. Berbeda dari atap rumah potongan gudang, bentuk pelana rumah potongan bapang (kebaya) tidak penuh. Kedua sisi luar rumah potongan bapang (kebaya) sebenarnya berbentuk terusan (sorondoy) dari atap pelana tadi yang terletak di bagian tengahnya. Dengan demikian maka yang berstruktur kuda-kuda adalah bagian tengahnya.
Ragam Hias
Ragam hias Betawi disebut pula dekorasi gaya Betawi. Ragam hias merupakan permainan geometri. Geometri adalah dasar untuk arsitektur, berbagai ragam hias, dan pengenalan dunia simbol. Ragam hias Betawi sudah ada sejak jaman neolitikum. Ketika itu sudah lazim digunakan bentuk cagak. Bentuk cagak menjadi ragam hias pada leher periuk tanah. Cagak mengalami pengembangan menjadi bentuk tumpal. Bentuk tumpal dalam kain batik Betawi berbentuk temu tumpal. Bentuk cagak maupun tumpal sebenarnya bentuk lain dari gunung. Bentuk cagak dan tumpal mempunyai arti kekuatan.
Rumah tradisional Betawi diberi ragam hias gigi balang yang diletakkan pada lisplang yang berfungsi memberi keindahan pada rumah. Bentuk lain adalah banji. Banji memiliki pola segi empat. Pola ini terpengaruh kebudayaan Hindu yang artinya dinamis. Pola banji sering dikombinasikan dengan unsur tumbuh-tumbuhan. Yang paling banyak dipilih adalah bunga lima atau bunga tapak dara. Bunga tapak dara dalam tradisi pengobatan Betawi berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit. Unsur flora lain yang digunakan sebagai ragam hias antara lain cempaka, jambu mede, delima, pucuk rebung, dan lain-lain. Bentuk ragam hias lain adalah matahari, kipas, varian botol. Yang paling jelas ragam hias ditemukan pada langkan, tiang utama, garde, lisplang, siku yang berada di luar flapon.
Masjid di Betawi memiliki ragam hias hampir sama dengan rumah tradisional. Ada ragam hias temu tumpal dalam berbagai variasi. Ada ragam hias bunga tapak dara. Ada pula ragam hias lonjong dan mute setengah lingkaran. Pada lobang angin ada mute lingkaran penuh.
Perahu nelayan Betawi juga mempunyai ragam hias tertentu, sebagaimana perahu-perahu nelayan di pesisir utara Jawa lainnya. Nama dan bentuknya sama dengan hiasan perahu di sejumlah pantai utara Jawa, seperti Cilamaya, Pamanukan, Eretan, Cirebon, dan Tegal. Yakni bentuk seperti “tembon” atau “compreng” dari Cirebon, “sopek” dari Tegal dan Eretan, “sekocian” dari Teluk Naga, Indramayu. Warna yang digunakan mencolok, seperti merah, jingga, hijau, kuning, dan putih. Kebanyakan melukiskan ombak bergulung-gulung dalam bentuk garis lengkung, patah-patah, rege, rendeng, dan kepang. Pada bagian ujung haluan sering tampak motif-motif geometris seperti jajaran genjang bersambung-sambung.
Hiasan pesta di Betawi banyak terbuat dari daun-daunan, kertas minyak, dan buah-buahan, terutama pisang bertandan yang digantung. Sementara daun yang biasa dipakai adalah daun beringin dan daun bambu. Di daerah tertentu seperti di Ceger, Bambu Apus, dan sekitarnya, ada pula dipakai hiasan daun kelapa untuk “gantungn kaul” dan “ketupat lepas”. Bentuk bunga-bungaan dari kertas minyak berwarna-warni paling sering terlihat dalam hiasan pesta, berbentuk bendera kecil dan semacam “serunting” yang dililitkan di lidi. Kue-kue di nampan juga diberi hiasan kertas minyak dengan berbagai motif. Adapun hiasan “kembang kelapa” (“kembang kelape” di Betawi Kota) merupakan hiasan yang juga terdapat di Ponorogo, Jawa Timur, dan Malaysia. Ini membuktikan cikal bakal masyarakat Betawi datang dari berbagai penjuru Nusantara. Hiasan kembang kelapa bermakna agar manusia dapat hidup berguna bagi lingkungannya, sebagaimana pohon kelapa yang seluruh bagian dirinya bermanfaat bagia manusia.
Alat kesenian di Betawi mempunyai ragam hias tergantung dari daerah asalnya: Sunda, Jawa, Cina. Alat musik gamelan ajeng mempunyai ragam hias Sunda, sementara instrumen gambang kromong menampakkan ragam hias Cina.
Batik yang disenangi di Betawi adalah corak pesisiran, seperti Pekalongan, Lasem, Cirebon dengan warna-warna yang mencolok. Sementara motif-motif batik yang disukai adalah jamblang, babaran kalengan, dan jelamprang. Motifnya antara lain terdiri dari garis segitiga panjang melancip, ujungnya yang melancip disambungkan dengan ujung segitiga panjang lainnya. Jenis batik ini biasa dipakai oleh perempuan yang menghadiri pesta pernikahan atau para penari cokek. Jenis batik ini juga disukai perempuan-perempuan Belanda di Batavia.
Sebagaimana masyarakat pesisir lainnya, perempuan Betawi menyukai batik berwarna cerah mencolok, bukan sogan, dengan kepala atau tumpal bermotif geometris, antara lain berbentuk segitiga, yang dalam istilah setempat disebut sebagai “mancungan”. Di daerah pinggiran Jakarta motif seperti itu disebut “pucuk rebung”. Motig burung funiks atau burung hong (feng huang) pada batik juga banyak disenangi perempuan-perempuan Cina Betawi (encim). Burung funiks memberikan kesan gemulai dan menambah wibawa bagi pemakainya.
Pakaian Betawi banyak ragamnya. Ada pakaian sehari-hari, ada pula pakaian resmi. Belum lagi pakaian pengantin, laki-laki dan perempuan. Pakaian sehari-hari laki-laki Betawi biasanya baju koko atau sadariah, celana batik, kain pelekat, dan peci. Akan tetapi di daerah Betawi pinggiran pakaian ini bisa menjadi pakaian pesta. Sementara pakaian sehari-hari perempuan Betawi berupa baju kurung berlengan pendek, kadang-kadang bersaku di depannya, kain batik sarung. Ada yang berkerudung, ada yang tidak, terutama orang pinggiran.
Pakaian yang disebut ujung serong biasa dipakai oleh bapak-bapak berupa jas tertutup dengan celana pantalon. Kain batik dikenakan di sekitar pinggang dengan ujungnya serong di atas lutut, dan selipan pisau raut. Aksesoris kuku macan dan jam saku rantai. Tutup kepala berupa liskol atau kopiah dan alas kaki sepatu pantovel. Ini pakaian demang zaman dahulu yang kini menjadi pakaian resmi adat Betawi. Pakaian “abang Jakarte” kurang lebih seperti ini. Hanya penutup kepalanya berupa liskol, tanpa kuku macan dan jam saku rantai. Sementara pakaian “none Jakarte” adalah kebaya panjang berenda (kebaya encim), kain batik corak jelamprang Pekalongan, bersanggul tidak terlalu besar (konde cepot) dan diberi hiasan tusuk konde, melati atau cempaka putih. Selendang seringkali berfungsi juga sebagai kerudung.
Pakaian pengantin Betawi mendapat pengaruh dari Arab, Cina, Barat, dan Melayu. Pakaian pengantin laki-laki biasa disebut “dandanan care haji” berupa jubah dan tutu kepala “sorban” yang disebut “alpie”. Jubah dibuat longgar dan besar dengan motif hiasan flora atau burung hong, berbenang emas, manik-manik, bahan kain jubah beludru, warna cerah. Jubah dalam disebut “gamis” berupa kain putih halus model kurung panjang, terbuka dari leher ke uluhati. Ukurannya lebih panjang dari jubah luas sebatas matakaki. Perlengkapan lain berupa selendang bermotif benang emas atu manik berwarna cerah. Tak ketinggalan, sepatu pantovel.
Sementara pakaian pengantin perempuan biasa disebut “rias besar dandanan care none pengantin cine”. Pengaruh Cina sangat menonjol pada model, nama kelengkapan dan motif hiasannnya. Bajunya model blus Shanghai bahan saten atau lame berwarna cerah. Baju bawah atau rok disebut “kun” melebar ke bawah dengan motif hiasan burung hong dari mute atau manik dan benang emas. Warna kun biasanya gelap, merah hati atau hitam. Hiasan kepalanya disebut kembang goyang motif burung hong dengan sanggul buatan dan cadar di wajah. Perhiasan lain berupa gelang listring, kalung tebar, anting kerabu, hisasn dada teratai manik-manik dan selop model perahu. Hiasan lain adalah bunga melati berupa roje melati dan sisir melati.
Seni teater DKI jakarta

Kedaulatanrakyat;28/07/2008 08:05:47
Beberapa ragam bahasa dalam ketoprak menunjukkan watak, kedudukan, trah keturunan, latar belakang dan status sosial tokoh-tokoh yang tampil dalam setiap adegan. Dalam tradisi Jawa, tingkat-tingkat pemakaian bahasa tersebut berkait erat dengan unggah-ungguh, etika, tata krama dan budi pekerti. Artikulasi dialog dalam berbahasa Jawa juga punya arti penting dalam penyajian ketoprak sebagai tontonan, karena pertunjukan ketoprak tanpa didukung artikulasi yang baik akan mengurangi nilai artistik dan estetika, serta menghambat penyampaian makna dialog. Karena itu, selain intonasi dan aksentuasi harus jelas, pemain ketoprak juga harus mampu mengucapkan dialog dengan benar dan lafal yang pas.

PERNYATAAN tersebut dikemukakan oleh pakar sekaligus pemerhati ketoprak Yogyakarta, Handung Kussudyarsana (alm) sekitar tahun 80-an. Unsur bahasa, hanyalah salah satu faktor keadiluhungan kesenian ketoprak. Sebab, unsur busana (kostum) juga mengandung ajaran watak dan kedudukan seseorang.
Sejak kelahirannya, bahasa yang dipakai dalam pementasan ketoprak adalah bahasa Jawa. Sementara itu sistem komunikasi dalam ketoprak dilakukan dengan dialog dan tembang. Namun ragam bahasa yang digunakan dalam ketoprak lesung hanya bahasa ngoko atau krama ndesa, sedangkan dalam perkembangannya ketoprak menggunakan empat ragam bahasa. Yaitu krama inggil, krama ndesa, ngoko, kedhaton, dan bagongan. Hal itu seiring dengan perkembangan lakon-lakon ketoprak yang kemudian juga bersumber dari cerita sejarah dan babad, bukan hanya berasal dari legenda.
Disebutkan pula, perbedaan Ketoprak Mataram dengan Ketoprak Surakarta dan Ketoprak Jawa Timur, antara lain terdapat pada aksentuasi dialog. Aksen dialog ketoprak Surakarta, Jawa Timur dan Pesisiran cenderung pada pola aksen dialog wayang wong, sedangkan Ketoprak Mataram lebih cenderung pada aksen dialog keseharian masyarakatnya.
MASIH segar dalam ingatan kita, bagaimana masyarakat berduyun-duyun menyaksikan pergelaran ketoprak di berbagai daerah, terutama di wilayah pedesaan. Masih kita ingat pula bagaimana banyak remaja putri tergila-gila kepada tokoh bambangan atau penonton yang kedanan kepada pemeran andal seperti Marjiyo, Widayat atau primadona (sripanggung) Marsidah? Atau kita masih merasakan kebencian kepada tokoh antagonis seperti Mukiyar dan Dirjo Tambur? Itu semua terjadi karena ketoprak sebagai teater rakyat pada zaman keemasannya memang benar-benar mampu meyakinkan kepada penontonnya bahwa permainan mereka di panggung bukan sekadar cerita tetapi merupakan kejadian nyata.
Sekarang, apakah pergelaran ketoprak semacam itu masih bisa kita saksikan? Lantas bagaimana nasib Ketoprak Mataram yang sudah identik dengan sebutan kesenian rakyat Yogyakarta? Sarasehan Ketoprak di Griya KR, belum lama ini, yang mengangkat tema Kethoprak Wis Wancine Tangi, seolah menyadarkan kita, bahwa kesenian ini perlu dilestarikan dan dikembangkan.
***
KETOPRAK sebagai kesenian rakyat tradisional, diakui oleh Widayat dalam Ketoprak Orde Baru (FKY 1997), mampu berkembang seiring perkembangan zaman dan teknologi, karena ketoprak memang lentur, luwes dan adaptif. Bahkan ketoprak selalu terbuka terhadap pengaruh konsep seni dari luar ketoprak. Hal itu terlihat jelas dari sejarah perkembangan ketoprak yang terus berkembang, dari ketoprak lesung, ketoprak ongkek, ketoprak pendapan, sampai ketoprak panggung (tobong). Dalam kaitan teknologi komunikasi, ketoprak juga bisa beradaptasi dengan teknologi audio, sehingga mulai 1937/1938, ketoprak sudah mengudara lewat radio (RRI) Yogyakarta, yang dipelopori grup ketoprak Krido Raharjo pimpinan Ki Cokrojiyo. Mulai 1972, ketoprak juga bisa tampil secara audio-visual lewat TVRI.
Hal senada dikemukakan oleh Bondan Nusantara selaku praktisi seni ketoprak. Bahwa ketoprak memiliki keluwesan dan kelenturan menerima berbagai perubahan, termasuk menghilangkan unsur yang sudah tidak sesuai dan menambah unsur yang dianggap sesuai dengan perkembangan sosio-kulturalnya. Karena itu ketoprak mampu bertahan hidup. Hal itu berbeda dengan wayang wong dan ludruk, yang perkembangannya agak tersendat, karena kurang mampu beradaptasi dengan perubahan zaman lingkungannya.
Pertemuan Seniman ketoprak DIY 1972 menghasilkan rumusan bahwa ketoprak sebagai kesenian (drama/teater) rakyat yang tumbuh subur di wilayah Yogya, Jawa Tengah dan Jawa Timur terbagi dalam tiga periodisasi. Yaitu Periode Ketoprak Lesung (1908-1925), Periode Ketoprak Peralihan (1926-1927), dan Periode Ketoprak Gamelan (mulai 1928). Sementara itu Lokakarya Ketoprak yang diselenggarakan Taman Budaya Yogyakarta (1997) memunculkan gagasan bentuk baru ketoprak, yakni ketoprak garapan. Dengan demikian mulai saat itu dikenal adanya ketoprak konvensional dan ketoprak garapan.
Secara rinci, Bondan menyebutkan bahwa ciri-ciri ketoprak konvensional antara lain tidak menggunakan naskah penuh atau skenario, dramatika lakon mengacu pada wayang kulit purwa, dialog bersifat improvisasi, akting dan bloking hanya intuitif, tata busana dan rias relais, musik pengiringnya gamelan Pelog dan Slendro, menggunakan keprak dan tembang, dan waktu pergelaran sekitar 5-6 jam.
***
SEBAGAI produk budaya, penggunaan bahasa Jawa konon memiliki makna filosofis bagi masyarakatnya. Karena itu, sangat mungkin, di balik sajian ketoprak sebagai teater rakyat, juga terkandung makna filosofis bagi wong Jawa. Muhammad Jazuli dalam Kongres Bahasa Jawa tahun 2001 di Yogyakarta menyebutkan, dalam pandangan komunitas Jawa, bahasa bukan hanya dipandang sebagai alat ekspresi dan komunikasi, tetapi juga menjadi wahana menjelaskan fenomena dan menyiasati alam semesta serta simbol eksistensi orang Jawa dalam hubungannya dengan tatanan makrokosmos dan mikro kosmos. Hubungannya dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri.
”Semuanya itu mengarah pada cita-cita tertinggi orang Jawa, yaitu manunggaling kawula-gusti, yang merefleksikan saling ketergantungan melalui pengetahuan tentang sangkan paraning dumadi. Karena itu ungkapan atau kata-kata dalam bahasa Jawa sering terkandung nilai-nilai etika, estetika, filsafat, sosio-religi dan pendidikan, yang mengarah pada sikap dan perilaku budi luhur,” tegas Muhammad Jazuli dalam makalahnya, Hegemoni dalam Bahasa Jawa. Etika terlihat pada ungkapan sepi ing pamrih rame ing gawe. Estetika tampak pada konsep alus-kasar, sedangkan nilai-nilai filosofi tampak pada ungkapan amemangun karyenak tyasing sasama (selalu membuat bahagia orang lain). Nilai pendidikan tampak pada ajaran (piwulang) seperti aja rumangsa bisa nanging bisaa rumangsa (jangan merasa bisa, tetapi pandai-pandailah merasakan), nglurug tanpa bala menang tanpa ngasorake (menyerang tanpa pasukan, menang tanpa mengalahkan), aja adigang adigung adiguna (jangan sombong karena sedang berkuasa atau sedang mempunyai kekuatan materi maupun nonmateri).
***
KEBUDAYAAN Jawa terus mengalami pergeseran. Idiom-idiom yang merupakan ajaran luhur pada saat itu, mungkin sudah berubah, sehingga muncul idiom-idiom atau uangkapan yang merupakan kebalikan ungkapan yang berlaku di masa lalu. Misalnya sepi ing pamrih rame ing gawe, berubah menjadi sepi gawe rame ing pamrih. Becik ketitik ala ketara menjadi becik kesirik ala ketrima, wani ngalah dhuwur wekasane menjadi wani ngalah dhuwur rekasane. ”Setiap kebudayaan senantiasa berubah secara radikal (mendalam, menyeluruh) inkremental (bertahap, pelan-pelan, tambal sulam), evolusif, revolusif, bahkan bisa berubah arah atau berbalik total,” kata Muhammad Jazuli.
Bukankah hal itu sudah diramalkan oleh pujangga besar Ranggawarsita, bahwa suatu saat wong Jawa kari separo? Karena karakteristik budaya Jawa adalah selalu terbuka, maka sangat mungkin budaya tradisional yang berlaku dalam seni tradisi maupun masyarakat Jawa saat ini memang tinggal separoh. Selebihnya sudah terpengaruh budaya asing (Barat). Demikian juga kesenian adiluhung ketoprak, terutama setelah lahir konsep ketoprak garapan, ketoprak humor dan ketoprak plesetan.
Sekarang, akankah nilai-nilai budaya adiluhung yang tinggal separoh itu akan kita biarkan musnah seluruhnya? Semuanya sangat tergantung bagaimana sikap para tokoh dan pelaku ketoprak (khususnya Ketoprak Mataram) di Yogyakarta, serta pemerintah sebagai fasilitator pelestarian dan pengembangan kesenian.

Tidak ada komentar:

.
G
O
L
B
Y
M
O
T
E
M
O
C
L
E
W
.